Sharing yang
berlangsung dari Zoom ini menghadirkan Mbak Muyassaroh Hafidzoh, seorang
penulis novel Hilda dan Cinta Dalam Mimpi sebagai pemateri.
Acara ini
didukung oleh mubadalah.id dan Indonesian Content Creator (ICC). Lalu bagaimana
acaranya berlangsung? Kita akan bahas satu persatu yes!
Dibuka dengan Perkenalan Mubadalah
Saat itu, sebelum acara dimulai, Mbak Karimah sebagai Host sekaligus Founder ICC membuka acara dengan do'a bersama.
Lalu setelah itu seseorang yang dipanggil Mas Mumu dari Media
Mubadalah dipersilakan untuk mewakili Mubadalah.
Apa itu Mubadalah? Berikut yang saya kutip dari websitenya:
Mubadalah adalah media Islam dan relasi kesalingan antar individu maupun kelompok, terutama antara laki-laki dan perempuan.
Terinspirasi dari prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Mubadalah hadir untuk untuk meneguhkan dan mempopulerkan nilai-nilai keadilan dan kesalingan dalam relasi laki-laki dan prempuan, pada tataran praktek kehidupan sehari-hari, dalam keluarga maupuan bermasyarakat.
Mubadalah menghadirkan isu-isu gender dan soal Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Konten mubadalah variatif.
Mubadalah juga menerima kiriman berbentuk
tulisan, infografis dan video. Pelatihan kepenulisan, workshop, dan pembuatan konten
sering dilakukan juga oleh Mubadalah. Kurang lebih begitu yang disampaikan oleh Mas Mumu.
Memulai Acara Sharing Bersama Mbak Muyassaroh
Dengan tema sharing; Peran Keluarga Sebagai Support System Penyintas Kekerasan Seksual, sharing ini berlangsung seru.
Sebelumnya pernah dengar Penyintas Kekerasan? Penyintas Kekerasan adalah orang-orang yang berhasil bertahan dan bangkit dari permasalahan kekerasan yang dialaminya di masa lalu.
Begitu pun dengan
penyintas kekerasan seskual. Mereka adalah para survivor of violence yang tetap
harus didukung.
Mbak Muyassaroh ternyata menulis novel Hilda dari keresahan dan kegelisahan beliau soal kekerasan seksual yang sering terjadi pada wanita namun malah menerima ketidakadilan.
Sudah korban, disalahkan pula. Lalu ketika melapor malah tidak dipercaya. Ada juga yang dikucilkan.
Salah satu
niat besar lainnya dari ibu beranak 3 ini juga muncul karena terdorong dari Kongres Ulama Perempuan
di Cirebon di mana salah satu isu yang diangkat tahun 2017 adalah tentang
kekerasan seksual.
Beberapa Ketidakadilan Pada Perempuan
Sebagai perempuan, memang bahkan sebelum Islam datang kita ketahui banyak ketidakadilan yang terjadi.
Salah satunya adalah tidak diinginkannya anak perempuan sehingga
harus dibunuh ketika lahir. Miris. Tapi memang begitulah kenyataannya.
Adapun beberapa
bentuk ketidakadilan masa kini yang dipaparkan pemateri adalah:
> Subordinasi
Sesungguhnya,
kecakapan dalam bekerja seharusnya tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Namun pada
kenyataanya, saat ini banyak pekerjaan yang menomorsatukan lelaki daripada
wanita.
> Stereotype dan Pelabelan Negatif
Banyak yang melabeli bahwa wanita seharusnya hanya bekerja dalam ranah domestik.
Lalu,
ketika anak laki-laki menangis, dianggap tidak pantas padahal itu wajar sebuah luapan
emosi.
> Beban Ganda -yang dipaksakan-
Beberapa rumah tangga yang memiliki suami dan istri yang bekerja terkadang menjadikan wanita memiliki beban ganda yang berlebihan.
Sepulang kerja, hanya wanita yang diwajibkan untuk membersihkan ranah domestik.
Padahal pembagian tugas bukan hal
yang salah. Bahkan dalam esensinya, pemimpin rumah tangga adalah pelayan bagi
keluarganya.
> Marginalisasi
Ini adalah proses di mana terjadi ketidakadilan karena kurangnya pemahaman tertentu.
Seperti buruh pabrik yang tengah hamil dan izin, maka gajinya akan dipotong sama
seperti halnya laki-laki yang izin.
> Kekerasan
Sudah terjadi
banyak kasus di mana wanita menjadi objek kekerasan. Ketika dilaporkan, malah
akan menjadi bumerang untuk pelapor sendiri. Akhirnya korban menjadi tidak
berdaya.
Kisah Seorang penyintas yang Pernah Berusaha Bunuh Diri
Percaya atau tidak menurut Kementrian Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), kasus kekerasan seksual kepada anak sebagai korban dilaporkan kini menduduki peringkat pertama ( hingga 31 Juli 2020).
Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari RRI, Nahar menyebutkan jumlah anak korban kekerasan seksual hingga periode Juli 2020 mencapai angka 2.556 anak dari total 4.116 kasus.
Ya Allah 😭
Adapun dari pengalaman sendiri, Mbak Muyas menceritakan salah satu penyintas kekerasan seksual (pernah menerima kekerasan seksual). Yang pernah beliau wawancarai.
Katanya, pelaku justru datang dari keluarga terdekat. Saat korban menceritakan hal tersebut kepada ibunya, malah dimarahi.
Ketiga kalinya, diminta untuk tidak mengungkit lagi karena sang ibu tidak percaya sama sekali omongan anaknya.
Akhirnya si
anak berusaha bunuh diri. Mulai mengiris nadi dengan silet, hingga lompat dari ketinggian.
Namun si korban tetap belum dipercayai.
Ketika ditanya
kenapa sekarang sudah bangkit? Jawabannya adalah karena ternyata Allah masih
sayang sama dia. Dia bunuh diri, tapi tidak juga berhasil.
Dia akhirnya fokus pada pendidikannya, dan hingga kini sudah tamat kuliah.
Dari cerita ini
kita bisa lihat bahwa yang justru menjatuhkan sesorang bukan orang luar, tapi
dari keluarganya sendiri. Astagfirullah. Semoga kita tidak seperti itu.
Ketika Menjadi Keluarga atau Kenalan dari Korban Kekerasan Seksual
Seharusnya, jika kita menjadi keluarga atau kenalan yang di mana keluarga kita menjadi korban, terlebih dahulu tanyakan keadaannya, begitu yang disampaikan Mbak Muyass.
Tidak langsung mencerca dengan banyak
pertanyaan mengapa. Tidak menyalahkan pakaian dan apapun yang berkaitan dengan
bentuk menyalahkan korban dan terlihat mendukung pelaku.
Korban sudah sakit, ditambah mentalnya dijatuhkan.
Seorang korban hanya butuh dukungan dan keadilan. Sedangkan para pelaku banyak yang bebas berkeliaran.
Ketika Menjadi Korban, Apa yang Harus Dilakukan?
Hal yang pasti
adalah kita wajib melapor. Bagaimanapun caranya tetap jangan sampai diam. Ktia tidak
tahu akan berapa banyak korban lagi yang akan berjatuhan.
Berkaca dari Kasus Baiq Nuril
Saya langsung
mengingat Ibu Baiq Nuril soal bagaimana kasus hukum seperti kekerasan seksual,
memang banyak yang tidak memberikan keadilan pada korban.
Tahu kan kasusnya? Karena dia merekam atasannya ketika berbicara tidak pantas di telepon, dia yang malah dijadikan tersangka UU ITE.
Padahal jelas bahwa beliau adalah
korban. Ah entahlah akan jadi apa negeri ini.
Bu Baiq Nuril bahkan diminta harus bayar denda 500 juta.
Bu Baiq Nuril berusaha berjuang bersama teman-teman lain. Hingga aju banding dan PK tidak tembus, langkah terakhir adalah meminta amnesti Presiden.
Untungnya saat itu cepat ditanggapi hingga
akhirnya Bu Baiq Nuril bebas.
Kesimpulan
Sesi kemarin bener-bener banyak diskusi yang menarik. Dari pertanyaan-pertanyaan peserta, akhirnya muncul berbagai hal yang bisa dikulik lebih jauh lagi.
Dari pemaparan
Mbak Muyass terkait prinsip kesalingan lelaki dan perempuan pun saya jadinya bisa belajar
banyak hal.
Selama ini saya juga sering menganggap ada ketidakadilan dalam ranah domsetik.
Banyak di beberapa keluarga di Indonesia yang mewajibkan wanita yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Padahal pada hakikatnya lelakilah yang berkewajiban.
Wanita hanya melayani suami. Urusan wanita ingin membantu urusan domestik biarlah menjadi kesepakatan bersama dan kerelaan istri.
Bukan malah dibebankan hanya kepada istri. Syukurnya suami saya pribadi mau ikut soal
mengerjakan tugas-tugas negara, hehe.
Adapun korban kekerasan seksual, kita semua berharap semoga tidak terjadi lagi.
Para korban bisa segera bangkit, hukum lebih baik, tidak ada lagi yang mengucilkan dari lingkungan, dan korban bisa memulai hidupnya kembali.
Terakhir yang juga tak kalah penting, para pelaku bisa mendapatkan
hukuman setimpal. Aamiin.
Sumber:
https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-09687377/kementerian-ppa-per-18-agustus-2020-jumlah-kekerasan-seksual-kepada-anak-sebanyak-4833-kasus
Gambar:
unsplash.com
Posting Komentar
Sebaiknya jangan anonim agar bisa saling mengunjungi ...
Komentar muncul setelah dimoderasi.
Terima kasih telah membaca dan berkomentar 😊
Salam kenal ...